SAMUDERAPOS.id
SAMUDERAPOS.id

Pemko Lhokseumawe Bantu Pengobatan Fatan Bocah Penderita Cerebral Palsy (Lumpuh Otak)

Pemerintah Kota Lhokseumawe mengunjungi dan membantu pengobatan Fatan bocah 5 tahun yang menderita penyakit lumpuh otak (Cerebral Palsy) di Desa Pusong Lhokseumawe. FOTO | RIZKI AZKIA


LHOKSEUMAWE | SAMUDERAPOS.COM – Pemerintah Kota Lhokseumawe mengunjungi dan membantu pengobatan Fatan bocah 5 tahun yang menderita penyakit lumpuh otak (Cerebral Palsy). Pengobatan Fatan dilakukan Pemko Lhokseumawe setelah menerima aduan dari komunitas wadah pembaca  bernalar(Wacana) mengenai anak yang berkebutuhan khusus alias disabilitas di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti.

Demikian dikatakan oleh Pj Walikota Lhokseumawe Imran melalui Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Pemko Lhokseumawe, Darius kepada media ini di Lhokseumawe kemarin.

Dikatakan Darius Pemko melalui Dinas teknis Kesehatan dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan anak kota Lhokseumawe berkunjung dan membantu pengobatan fatan yang berkebutuhan khusus di Desa Pusong Kecamatan Banda Sakti Lhokseumawe.  " pasca ada informasi dari komunitas Wacana, Pemko Lhokseumawe lansung bergerak kerumah Fatan anak yang berusia 5 tahun menderita penyakit Cerebral Palsy (lumpuh otak)," kata Darius.

Sambung Darius, atas nama Pemko Lhokseumawe saya berterimakasih masih ada masyarakat yang peduli untuk melaporkan masyarakat yang membutuhkan bantuan dari pemerintah. “ atas nama Pemko Lhokseumawe mengucapkan berterima kasih kepada masyarakat telah memberi informasi kepada pemerintah Kota Lhokseumawe, dari kasus ini memang harus ada upaya yang lebih masif tentang data dan informasi terkait kondisi kesehatan masyarakat," ujarnya.

Termasuk juga respon dari laporan masyarakat, media social dan juga aparat Gampong. Jika ada masyarakat yang ingin mengadukan atau memberi informasi bisa
langsung ke dinas terkait, dalam hal ini karena berkaitan dengan kesehatan bisa langsung ke Dinas Kesehatan, bila tidak memiliki biaya untuk pengobatan bisa juga mengadukan ke Dinas Sosial, terang Darius.

Langkah selanjutnya yang akan di ambil oleh Pemko Lhokseumawe adalah pendampingan pengobatan dan segera mungkin akan di carikan orang tua asuh.

“Kami team DP3AP2KB akan melakukan pendampingan dan edukasi, serta mengusahakan agar fatan
memiliki orang tua asuh, ujar Salahuddin Kadis DP3AP2KB.

Dalam waktu cepat kita akan melakukan pendampingan secara intensif kepada Fatan anak penderita lumpuh otak untuk dilakukan pengobatan secara kontieu, sehingga penyakit tersebut bisa disembuhkan. " Kami memberikan apresiasi kepada Wacana yang telah melaporkan kepada pemko tentang kondisi Fatan, " tutur Salahuddin.

Penderita Cerebral palsy 

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Safwaliza kepada Samuderapos mengatakan Cerebral palsy adalah kumpulan gejala yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak, mempertahankan keseimbangan, dan tonus otot.

Cerebral palsy adalah gangguan motorik yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak, dan disabilitas yang timbul akan berlangsung seumur hidup.

Sambung Safwaliza, Cerebral palsy dapat terjadi apabila ada bagian otak janin yang tidak berkembang dengan baik saat kehamilan, atau terjadi kecacatan saat persalinan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan cerebral palsy antara lain perdarahan otak janin dalam kandungan, kekurangan suplai oksigen ke otak, kejang saat kelahiran atau bulan pertama kehidupan, infeksi ibu maupun janin, cedera kepala, atau kondisi genetik tertentu.

Faktor yang meningkatkan risiko cerebral palsy mencakup kehamilan multipel, riwayat kejang pada ibu, gangguan kelenjar tiroid, inkompatibilitas rhesus, konsumsi zat toksik seperti merkuri, atau infeksi dalam kehamilan, ujar Safwaliza.

Ditambahkan, Penegakkan diagnosis cerebral palsy dilakukan dengan mengandalkan evaluasi klinis yang diawali dengan pemantauan tumbuh kembang anak. Apabila anak dicurigai mengalami cerebral palsy, dilakukan rujukan kepada dokter spesialis neurologi atau dokter spesialis anak yang kompeten. Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan, seperti pemeriksaan darah lengkap, CT scan, MRI, USG kepala, dan elektroensefalogram (EEG).

Penatalaksanaan cerebral palsy dibagi menjadi medikamentosa dan non medikamentosa. Sampai saat ini, tidak ada terapi definitif untuk menyembuhkan cerebral palsy. Penatalaksanaan yang diberikan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan bertujuan untuk membantu pasien agar dapat aktif dan mandiri.


Modalitas terapi yang utama adalah intervensi sedini mungkin dan rehabilitasi medis. Terapi medikamentosa dapat diberikan untuk menangani spastisitas. Terapi non medikamentosa terdiri dari terapi fisik dan okupasional, terapi wicara, penggunaan peralatan adaptif dan orthosis, serta tindakan bedah.

Beberapa intervensi diduga dapat mencegah cerebral palsy (CP) akibat asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatorum menyebabkan hipoksia jaringan otak dan merupakan salah satu etiologi utama CP.

Cerebral Palsy adalah kelainan gerak dan postur nonprogresif yang terjadi akibat gangguan saat proses perkembangan janin, proses persalinan, atau setelah kelahiran yang menyebabkan gangguan otak permanen. CP adalah penyebab utama disabilitas di usia anak-anak dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup penderita dan juga keluarganya.

Asfiksia neonatorum dilaporkan menyebabkan 45% neonatus meninggal dan 25% mengalami defisit neurologis CP dengan atau tanpa retardasi mental, sisanya mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, dan gangguan belajar.

Hipotermia terapeutik merupakan salah satu intervensi standar yang bersifat neuroprotektif dan diindikasikan untuk neonatus dengan hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) sedang-berat yang timbul akibat asfiksia neonatorum. Hipoksia jaringan otak dapat menyebabkan cedera otak, sedangkan reperfusi jaringan otak yang iskemik tersebut dapat menimbulkan cedera otak tambahan akibat terbentuknya radikal bebas yang bersifat toksik.

Cedera akibat proses reperfusi dapat dicegah dengan hipotermia terapeutik. Prinsip hipotermia terapeutik adalah tubuh neonatus didinginkan hingga 3-4 C di bawah suhu tubuh normal dengan tujuan mengurangi laju metabolisme, mengurangi permeabilitas vaskular dan edema, menurunkan apoptosis dan gangguan pada fungsi sawar darah otak, serta mengurangi pelepasan neurotransmiter eksitatorik sehingga mengurangi proses cedera.

Hipotermia terapeutik mengurangi risiko cerebral palsy (CP) pada neonatus dengan HIE dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan perawatan standar pada 881 subjek penelitian. Tidak ada perbedaan bermakna antara teknik hipotermia terapeutik yang dilakukan hanya pada kepala atau seluruh tubuh.

Penelitian oleh Garfinkel et al melaporkan penggunaan terapi hipotermia pada kasus asfiksia neonatorum dapat mencegah 5% komplikasi CP. Hipotermia terapeutik diberikan ke seluruh tubuh, dimulai 6 jam setelah pasien lahir. Kondisi hipotermia dibuat dengan meletakkan neonatus dalam selimut khusus yang disambung dengan perangkat Blanketrol II atau III Hyper-Hypotermia.

Suhu diatur menjadi 33,5 C dengan durasi 72 jam, yang kemudian akan kembali dinaikkan hingga 36,5 C dengan kecepatan 0,5 C per jam. Namun, pada penelitian-penelitian yang dilakukan di negara berpendapatan rendah, hipotermia terapeutik tidak menunjukkan efikasi yang sama seperti di negara dengan fasilitas kesehatan yang maju dan memadai.

Lumpuh otak 

Dilaporkan bahwa 1 dari 7 pasien CP memiliki riwayat kelahiran prematur (32-35 minggu) dan asfiksia, insidensi ini lebih kurang sama dengan insidensi CP pada bayi aterm. Namun, untuk sementara ini hipotermia terapeutik hanya disarankan pada neonatus dengan usia gestasi ≥36 minggu. Penggunaan terapi hipotermia pada bayi prematur berpotensi menimbulkan efek samping perdarahan intraserebral. Efikasi dan keamanan hipotermia terapeutik terhadap neonatus prematur dengan usia gestasi 32-35 minggu masih dalam penelitian.

Pada kasus neonatus prematur dengan asfiksia, pencegahan cerebral palsy (CP) dapat dilakukan dengan pemberian obat golongan methylxanthine, yakni kafein secara intravena. Kafein merupakan penghambat nonselektif reseptor adenosin A2A dan A1 di otak. Penelitian menunjukkan kafein memiliki efek antiinflamasi neuroprotektif terhadap cedera dan efek dari hipoksia pada periventrikular substansia alba neonatus prematur.

Pemberian agen profilaksis berupa methylxanthine (kafein) pada ekstubasi endotrakeal di bayi prematur selain mengurangi mortalitas juga dapat mengurangi risiko CP dibandingkan kelompok plasebo.[3]

Insidensi CP pada kelompok yang diberikan kafein secara dini (dalam 48 jam pertama kehidupan) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan kafein lebih lambat (3,9% vs 7,9%). Sebuah penelitian melaporkan terapi kafein pada bayi prematur dengan asfiksia atau apnea of prematurity dapat menurunkan kejadian CP pada pengamatan di usia 18 bulan.

Allopurinol merupakan inhibitor xantin-oksidase yang diduga dapat menghambat kematian sel pada asfiksia neonatorum. Allopurinol menurunkan produksi radikal bebas dan pada dosis yang tinggi dapat mengikat dan menetralkan radikal bebas. Penelitian terhadap hewan percobaan menunjukkan bahwa allopurinol menurunkan pembentukan radikal bebas dan mengurangi derajat kerusakan otak pasca asfiksia.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi allopurinol pada neonatus dengan asfiksia tidak menghasilkan luaran yang signifikan dalam menurunkan angka mortalitas atau gangguan perkembangan di kemudian hari. Namun, beberapa data penelitian terkini melaporkan bahwa allopurinol menurunkan risiko komplikasi tersebut pada subjek yang di follow-up pada usia 4-8 tahun. [4,14]

Pemberian allopurinol diduga kurang efektif karena diberikan pada median 3 jam setelah kelahiran, sementara proses reperfusi dan reoksigenasi jaringan otak yang dapat menimbulkan pembentukan radikal bebas terjadi dalam 30-60 menit pertama.

Pada sebuah penelitian, peneliti menganjurkan pemberian profilaksis allopurinol intravena secara dini kepada ibu hamil dengan gawat janin sehingga dosis terapeutik allopurinol dapat dicapai saat bayi lahir. Penelitian dengan skala sampel yang lebih besar diperlukan untuk membuktikan allopurinol dapat menjadi terapi tambahan untuk mencegah cerebral palsy (CP).

Fenobarbital digunakan sebagai pencegahan kejang yang sering kali mengikuti asfiksia neonatorum. Kejang dapat menimbulkan cedera neuron sekunder. Selain efek anti kejang, fenobarbital dalam dosis tinggi memiliki efek vasokonstriktif yang menyebabkan penurunan sirkulasi darah otak dan edema serebri, menurunkan laju metabolik otak, menetralkan radikal bebas, dan menekan respon glutamat di jaringan otak.

Oleh karena itu peneliti menduga bahwa pemberian fenobarbital dapat mencegah cedera neuron sekunder akibat reperfusi jaringan otak dan HIE yang mengikuti kejadian asfiksia pada neonatus.

Pada penelitian oleh Young et al, tidak didapatkan perbedaan kejadian cerebral palsy (CP) di tahun ketiga dan keenam antara kelompok pasien yang diberikan fenobarbital dengan kelompok pasien terapi standar pada kasus asfiksia neonatorum. Namun, penelitian tersebut menunjukkan adanya penurunan angka kematian atau disabilitas perkembangan saraf di tahun ketiga pada kelompok yang diberikan barbiturat.

Penelitian lain di Bangladesh melaporkan bahwa profilaksis fenobarbital dengan dosis 20mg/kgBB intravena yang diberikan secara perlahan >20 menit, tidak mencegah kejang secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar untuk asfiksia neonatorum (8% vs 12%).

Hasil penelitian berupa kelainan neurologis misalnya hipotonia, refleks yang buruk, dan mortalitas juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok yang mendapatkan fenobarbital dengan yang tidak. Follow-up setelah 3 bulan–1 tahun menunjukkan tidak ada perbedaan insidensi CP maupun epilepsi pada kelompok yang diberikan profilaksis fenobarbital dan yang tidak (14% vs 18%).

Selain efek positif, fenobarbital juga diketahui memiliki efek samping yang dapat menimbulkan gangguan perilaku, hiperaktivitas, sedasi, dan gangguan kognitif. Potensi hepatotoksisitas yang dimiliki oleh fenobarbital juga perlu dipertimbangkan, khususnya pada neonatus yang sudah mengalami cedera hepar akibat kejadian asfiksia. [18] Hasil penelitian-penelitian yang inkonsisten dan potensi efek samping tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan penelitian lanjutan mengenai efikasi dan keamanan fenobarbital profilaksis pada kasus asfiksia neonatus.

Dari sejumlah penelitian diatas, lanjut Kadiskes Lhokseumawe Safwaliza mengambil Kesimpulan bahwa neonatorum dapat menimbulkan kelainan neurologis menetap seperti cerebral palsy (CP). Selain resusitasi dan terapi standar untuk mencegah mortalitas pada kasus-kasus tersebut, berbagai intervensi tambahan dapat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya CP di kemudian hari.

Hipotermia terapeutik merupakan salah satu terapi yang sudah banyak diteliti. Berbagai studi menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik efektif dalam mencegah CP pada neonatus dengan asfiksia. Namun, penerapannya bagi neonatus prematur masih membutuhkan penelitian lanjutan.

Penerapan terapi lain seperti pemberian kafein, allopurinol, dan barbiturat sebagai profilaksis CP pada asfiksia neonatorum masih terbatas dalam konteks penelitian saja. Hasil penelitian yang inkonsisten belum cukup membuktikan efikasi dan keamanan terapi-terapi tersebut untuk diterapkan dalam praktik klinis dan medis, demikian tutup Safwaliza. (ADVERTORIAL)

Lebih baru Lebih lama